Langsung ke konten utama

Baghdad Kota Ulama

Terbangnya burung merpati pembawa surat, menandakan gambaran masyarakat Baghdad ratusan abad silam. Kota yang didirikan pada masa Abbasyiah kekhalifahan Al-Mansur ini menyimpan banyak kisah khazanah ilmu. Sebagian besar penduduk pada era ini bermata pencaharian sebagai pedagang, lainnya disibukkan dengan menuntut ilmu. Film ini memberikan gambaran bagaimana khidupan 4 Imam Madzhab yang saya kagumi (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad) serta menambah kecintaan saya kepada Amirul Mukminin Harun ar Rasyid.

Abu Sahlan dan Abu Dulamah membicarakan betapa kasihannya kehidupan Ahmad bin Hanbal (Bakal ulama dan Imam umat Islam, read: Imam Ahmad) yang setiap hari menawarkan kios di pasar milik alm. ayahnya, namun belum mendapat penyewa. Kios itu adalah satu-satunya sumber rezeqi yang menopang kehidupannya dan ibunya, Shafiyyah As-Syaibany. Meskipun pamannya Ishaq bin Hanbal sering menawarkan bantuan, namun karena wibawanya, Ahmad tetap menolak. Ahmad mencoba ridha terhadap apapun yang Tuhan berikan dalam tawakalnya.

“sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, wahai Paman”.

Dialog tersebut menggambarkan betapa sosok dari tokoh Ahmad senantiasa menampakan kewibawaan dan tidak menampakan kefaqiran kepada selain Allah. Ibunyapun menurut riwayat, menolak bantuan Ishaq bin Hanbal karena demi menjaga izzahnya. Kesibukannya dalam menjajakan kios di pasar inilah yang menjadi penyebab ia sering terlambat bahkan sering absen, tidak hadir ke majelis ilmu Syaikhnya. Salah satu kawan ngajinya -Syuhaib- senang mengoloknya dengan panggilan "Si Tuan Terlambat."

Ada hal yang menurut saya perlu dipertanyakan pada scene ini. Ahmad ibn Hanbal tiap hari berteriak menawarkan tokonya “toko ini disewakan. Siapa yang mau menyewa toko ini?” berualang kali ia berteriak sedemikian rupa. Kenapa tidak membuat tulisan saja, bahwa “toko ini disewakan. Hubungi ummu Ahmad”.

Entahlah, Ok, back to story

Pada penggembaran lain, dialog umu Amir dengan putranya dan dialog umu Faraj dengan putranya memberikan pesan moral secara tersirat bahwa Islam tidak mengindahkan kemalasan, melainkan menganjurkan bekerja sebagai sebuah tanda usaha memperoleh rezeki. Jadi inget at Taubah ayat 105. 

Pada abad dimana film ini diambil, terkenal hidupnya para sastrawan dan penyair-penyair. Hampir sepanjang dialog masyarakat dan semua perkataan mengandung syair. Kepiawaian dan keluasan khazanah keiluwan Ahmad tergambar ketika ia berhasil mengungkap tabir dari syair yang dibacakan oleh seorang bahlul di pasar. Syair tersebut berasal dari surat merpati yang dibuang oleh pencuri burung.

“Sedikitlah tertawa dan banyaklah menangis, Sedikitlah tertawa dan banyaklah menangis

Dengan menyebut nama Allah maha Pengasih Maha Penyayang

salam untuk komanda Jahib bin Ayham

siramilah mawar rumah yang mulia

dan tinggalkanlah amanah itu hanyut di sungai Dajlah

mata telah menanti kedatangan sang mawar di Basharah

matahari akan beranjak dan yang lainnya ......

kemudian lepaskan mawar itu ke udara

dan berangkatlah segera ke Mayyafariiq

teman kalian Tsaubah”.

Orang seisi pasar terbahak mendengar syairnya, kecuali Ahmad, ia mengetahui makna pesan yang dibacakan orang gila ini. Ahmad berkata, 

“ini semacam kode dan ada pesan di baliknya.” Ta’bir yang ditangkap adalah, akan ada seorang penting yang akan menyerang istana melewati sungai Dajlah dan ada orang yang menunggu di Basharah. Dan setelah sehari semalam ia akan muncul, dan orang yang memerintah disana akan berangkat ke kota Mayyafiiq. Ini artinya pemerintah dan rakyat dalam bahaya.

Ta’bir Ahmad tersampaikan kepada Harun ar Rasyid melalui Yahya. Amirul mukminin marah akan kelakuan kaum Thalibiyin atas makar yang telah dilakukan. Harun mengutus Yahya al Barmaky mendapatkan Jahib bin Ayham dan para penghianat lainnya yang ikut bersekongkol merongrong kekuasaan.

 **

Dalam perjalanan menuntut ilmu, kefakiran menjadi rintangan Ahmad. Benar bahwa kefakiran bukan aib, tapi ia bisa merendahkan akal dan kewibawaan serta menghilangkan ilmu dan adab. Namun di sisi lain, Ahmad khawatir kalau berpalingnya dari ilmu, justru lebih meringankan beban ibunya. Namun Shafiyyah As-Syaibany tidak berpandangan demikian. Yang ditakutkan dari Ummu Ahmad jika kios belum mendapat penyewa adalah, Ahmad akan tersibukkan bekerja dari pada menuntut ilmu. Sedangkan ummu Ahmad sudah bernadzar agar Ahmad bin Hanbal selalu menuntut ilmu dan sibuk dengannya.

Secara tersurat maupun tersirat episode awal ini mencoba menyampaikan pesan kepada para penikmat film, bahwa betapa sangat diagungkan ilmu pada abad itu, bahkan kompetisi yang tergambar adalah tentang berlomba dalam mendapat ilmu. Tokoh Ahmad tergambarkan memiliki keluasan khazanah ilmu, penutut ilmu yang arif-bijak serta seorang putra yang patuh kepada ibunya. Selain itu nampak tergambar pada dialog Amirul Mukminin dengan prajurit penghianat kerajaan, bahwa betapa masyarakat menjunjung tinggi nama Nabi Muhammad. saw. Kota Baghdad tergambar sebagai kota para ulama.

#TheImam_Episode_1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata singkat untuk cerita yang panjang. “HIJRAH” ... bagian 1

Mazhab Googliyah Dunia dalam genggaman semakin kesini semakin Nampak jelas dan membudaya. Masyarakat mana yang tidak mengenal internet? Bahkan anak balita saja menjadikan internet sebagai teman bermain sepanjang hari. Jika anak balita cenderung mencari hiburan di Youtube, berbeda halnya dengan usia remaja yang senantiasa penuh dengan pertanyaan, termasuk keagamaan. Generasi milenial akrab dengan internet berikut kawan-kawan di dalamnya termasuk sosial media. Misal Youtube, Instagram, facebook, Twitter, dan beberapa sosial media lainnya. Beberapa kejadian yang merundung remaja dekat dengan medsos adalah fenomena galau –termasuk galau dalam mendalami agama- yang larinya menjelajahi media sosial. Kira-kira ada berapa banyak orang-orang yang galau lari ke medsos ? Berkaitan dengan hal ini saya berkesempatan berkenalan dengan sosok perempuan yang menyimpan banyak cerita tentang beragama dalam madzhab Googliyah. Namanya Nur Shadrina Khairadania. Dania panggilan Akrabnya. Kita dipertemuka

Sensitivitas Gender di Pengadilan Agama

Seperti tahun lalu, staff PSW kembali menelepon memintaku untuk menjadi noteker. Telepon itu bagiku merupakan kesempatan emas untuk belajar, mendengarkan diskusinya para ilmuwan-ilmuwan Indonesia serta bertatap muka langsung dengan mereka yang kukagumi khazanah keilmuwannya. Kali ini adalah Workshop On Cultural Expertise For Gender Sensitization At Islamic Courts In Indonesia: A Textbook. Acara yang diadakan oleh PSW UIN Sunan Kalijaga dengan Oxford University ini diselenggarakan selama dua hari (9-10 Maret 2019). Aku turut hadir dalam acara tersebut di Hotel Grand Mercure Yogyakarta. Sambil menyelam minum air, sambil bekerja aku mendapatkan banyak pengetahuan berharga. Dalam ruangan itu aku terpantik dengan kabar adanya sebuah kampanye suatu kelompok, dimana tanggal 1 Maret akan dijadikan Hari Poligami Nasional. Ini bertepatan dengan Yogyakarta yang memeringati hari kembalinya Jogjakarta ke pangkuan NKRI. Sontak aku terdistraksi oleh diskusi mereka, melebur, turut memikirkan masa dep